Syukur alhamdulillah kepada Allah swt artikel tentang hikmah mahar
telah selesai dibuat. Artikel ini terinspirasi oleh rekan kerja saya
yaitu (bang Dhie). Beliau sering memberikan masukan dan berbagi
pengalaman hidupnya khususnya kepada saya dan semua orang. Kenapa saya
mengaitkan beliau ke dalam artikel ini ? Jelas ada kaitannya doong..,
karena alhamdulillah tahun ini beliau akan melaksanakan pernikahan
dengan calon pilihan terbaiknya. Sebelum kita masuk ke penjelasan
tentang hikmah mahar, mari kita do’a kan ‘bang Dhie’ semoga diberi kelancaran dan kebahagiaan pada saatnya.
Mahligai rumah
tangga membutuhkan kesepahaman antara istri dengan suami yang tidak
hanya sebatas mengandalkan cinta semata. Tak salah kalau banyak orang
tua yang khawatir terhadap anaknya yang terlalu membabi buta dalam
cinta. Persoalannya bukan karena cinta tidak di perlukan dalam
perkawinan, tetapi masih masih diperlukan perangkat lain untuk
meneguhkan tali rumah tangga. Sebab, fitrah cinta yang bersifat abstrak
tidak selamanya menjadi solusi persoalan yang dihadapi, khususnya dalam
materi.
Dalam
perkawinan, istri mempunyai hak-hak dari suaminya yang bersifat
materilmaupun moril. Diantara hak-hak materil adalah maskawin (shadaq). Shadaq atau Shidaq (mahar atau maskawin) menurut bahasa berarti ganti (‘iwadh).
Kalau menurut istilah adalah pengganti pembayaran dalam nikah atau
sejenisnya yang dikendalikan oleh hakim atas kerelaan kedua belah pihak.
Islam
mensyaratkan maskawin atau mahar bagi suami kepada istri sebagaitanda
kebaikan niat suci bagi hatinya, penghormatan bagi dirinya, pengganti
aturan dari tradisijahiliyah yang berlaku sebelum kedatangan Islam. Saat
itu, perempuan dipandang rendah dan hina. Bahkan tak jarang, hak
perempuan diinjak-injakdan dirampas oleh suaminya. Padahal mahar
adalah milik penuh bagi istri yang tidak dapat diganggu gugat meskipun
oleh walinya. Perempuan mempunyai kebebasan dan wewenang penuh atas
hartanya ini untuk membelanjakan atau bershadaqah sesuka hatinya. Jadi, mahar dalam islam adalah lambang saling menghargai antara suami istri menerima penghargaan itu.
Namun, bukan
berarti mahar menjadi sesuatu yang menyulitkan. Mahar atau maskawin
bukanlah satu syarat dan rukun dalam akad perkawinan, melainkan hanya
salah satu hukum dan akibat dari akad nikah. Oleh karena itu, penyebutan
mahar pada saat akad nikah bukan sesuatu yang wajib, bahkan suatu akad
nikah dianggap sah, meski terjadi kesalahan dalam penyebutan mahar.
(QS.Al-Baqarah: 236)
Apa saja yang
disebut harta dan bernilai bagi orang adalah sah untuk dijadikan mahar.
Dengan demikian, mahar bisa berupa emas, perak, barang tetap, seperti
tanah yang diatasnya bisa dibangun rumah. Kenyataan yang terjadi di
masyarakat,mahar biasanya disesuaikan dengan tradisi yang sudah berlaku.
Namun perlu diingat, jangan sampai ketentuan mahar dalam tradisi itu
membebankan pihak laki-laki, sehingga ia tidak bisa melakukan perkawinan
disebabkan ketidakmampuannya membyar mahar karena terlalu mahal.
Lebih jelasnya,
dampak negatif dari mahar yang berlebihan bisa menimbulkan dampak sosial
yang berbahaya. Sebab kebutuhan biologis antara perempuan dan laki-laki
tidak dapat terpenuhi. Padahal merekasudah merasa siap secara moril
untuk melakukannya.
Ketertindasan kaum
perempuan dari dominasi laki-laki sudah berlangsung sekian lama. Namun
hadirnya islam yang disebarkan Muhammad saw. telah membuka ruang yang
maksimal bagi perempuan untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi
dengan kaum laki-laki. Bahkan dalam pernikahan, persoalan mahar (mas
kawin) turut diatur sebagai wujud penghormatan Islam terhadap posisi
perempuan.
Wassalamualaikum wr.wb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar